Cinta Sehangat Air Galon Jemuran : Petualangan Anak Laut
Meski hidup Udin tampak sederhana, soal hati? Wah, rumitnya kayak tugas kelompok tapi yang ngerjain cuma satu orang.
Di semester kedua kuliahnya di Banjarmasin, Udin pertama kali melihat dia—seorang mahasiswi cantik, berkacamata, berhijab rapi, dan punya senyum yang bisa bikin detak jantung Udin naik 3 semester lebih cepat. Namanya Fitri, asal Barabai. Duduk di bangku paling depan, suka nyatet pelajaran dosen sampai ke titik koma, dan kadang pakai highlighter warna-warni yang bikin catatannya lebih indah dari lukisan di dinding kos Udin (yang isinya cuma kalender Alfamart).
Pertemuan pertama Udin dengan Fitri terjadi di kelas mata kuliah “Pembangunan Daerah”. Waktu itu Udin telat masuk, dan satu-satunya bangku kosong tinggal di sebelah Fitri. Dengan muka penuh keringat dan detak jantung seperti genderang perang, Udin duduk dan berusaha bersikap biasa. Tapi bagaimana mungkin? Sebelahnya ada cewek yang harum parfumnya bikin Udin lupa pasal-pasal otonomi daerah.
Hari-hari berikutnya, Udin mulai berstrategi. Ia mulai rajin datang pagi, pura-pura pinjam pulpen, bahkan bela-belain ikut kelompok diskusi yang sama. Ia jadi lebih sering mandi pagi—hal langka bagi anak kos—dan bahkan sempat semprot baju dengan pewangi yang biasa dipakai ibu-ibu arisan.
Namun perjuangan cinta Udin tak mudah. Selain Fitri tampak terlalu anggun untuk anak kos yang lauknya cuma telur rebus tiga hari berturut-turut, ada juga “musuh” dalam perkuliahan: Riyan, anak jurusan ekonomi, yang motornya kinclong dan sepatunya selalu bersih. Riyan sering nganterin Fitri pulang dari kampus, sementara Udin cuma bisa ngelus dompet dan ngetik, “lagi apa?” di WhatsApp… yang nggak dibalas.
Tapi Udin tidak menyerah. Ia mencari celah. Suatu hari, Fitri curhat tentang tugas besar yang bikin stres. Udin menawarkan bantuan. Dengan wajah penuh tekad dan otak yang udah siap lembur, Udin jadi partner ngerjain tugas. Dari sinilah benih-benih hubungan mereka mulai tumbuh, perlahan... kayak tanaman yang disiram pakai air sisa rebusan mi instan.
Mereka jadi sering diskusi, kadang duduk berdua di kantin kampus, pesan teh manis satu untuk berdua karena lagi irit. Fitri mulai mengenal Udin lebih dalam—cerita tentang Pulau Sembilan, masa kecilnya yang main layangan di pantai, hingga perjuangannya menyebrang laut demi pendidikan. Dan entah kenapa, Fitri mulai tertarik pada lelaki sederhana ini.
Namun, klimaks kisah cinta mereka datang saat Udin, dalam momen yang dramatis di bawah pohon kamboja kampus, menyatakan perasaan.
“Fit, aku tahu aku bukan siapa-siapa. Motor aja nggak punya, sinyal HP kadang ngambek. Tapi aku punya niat, aku punya pulau, dan aku punya kamu di hati…”
Fitri terdiam. Lalu tertawa pelan.
“Udin… kamu ini aneh banget, tapi... aku suka. Tapi jangan pernah kirim ikan asin lagi pas ulang tahun ya?”
Dan sejak itu, mereka jadian. Tapi dengan syarat: pacaran versi anak hemat—nggak ada makan di café, cukup duduk di taman kampus sambil makan cilok.
Meski cinta mereka penuh kesederhanaan, tapi justru itulah yang membuat hubungan mereka kuat. Kadang romantis itu nggak harus bunga mawar, tapi cukup SMS isinya, “Udah makan belum? Aku titip doa di air laut biar kamu selalu sehat.”
Setelah lulus, mereka sempat LDR. Fitri kerja di kota, Udin pulang ke pulau. Tapi cinta mereka bertahan—karena cinta sejati itu seperti sinyal di pulau terpencil: susah dicari, tapi kalau sudah dapat, dijaga baik-baik.
Dan siapa sangka, bertahun kemudian, Fitri ikut pindah ke Pulau Sembilan. Kini mereka hidup sederhana tapi bahagia—mengajar anak-anak pulau, menanam sayur sendiri, dan kadang sesekali ke kota cuma untuk beli sambal kemasan kesukaan Fitri.
Udin pun sering berkata, “Ternyata cinta bisa ditemukan, bahkan kalau awalnya cuma duduk sebelahan di kelas sambil minjem pulpen.”
Posting Komentar