Dari Pulau Kekampus : Petualangan Anak Laut
Di sebuah gugusan pulau kecil yang dinamai Pulau Sembilan—bukan karena jumlah penduduknya sembilan orang, tapi karena jumlah pulaunya beneran sembilan (meskipun kadang dihitung delapan setengah pas air pasang)—tinggallah seorang lelaki bernama Udin. Tapi jangan remehkan namanya. Walau namanya pasaran, kisah hidupnya nggak bisa dibeli di pasar.
Udin adalah anak sulung dari keluarga nelayan. Rumahnya menghadap laut lepas, tempat ia tiap pagi disambut suara ombak dan ayam tetangga yang suaranya lebih galak dari alarm HP. Sekolah dasar sampai SMA diselesaikannya di satu-satunya sekolah yang ada di pulau itu—sekolah yang kalau hujan deras atapnya berubah jadi air mancur, dan guru-gurunya merangkap jadi tukang servis printer dan satpam.
Meski terpencil, Udin punya cita-cita besar. Ia nggak mau hidup selamanya sekadar mancing ikan dan kejar layangan yang nyangkut di pohon kelapa. Udin ingin kuliah! Dan bukan kuliah lewat zoom ya, tapi beneran pindah ke kota.
Lalu datanglah hari itu—hari di mana Udin pamit ke orang tuanya untuk merantau ke Banjarmasin. Dengan membawa koper pinjaman dari tetangga (yang rodanya cuma tiga), Udin menyeberangi laut, naik perahu mesin tempel yang bunyinya lebih berisik dari konser dangdut.
Sesampainya di Banjarmasin, Udin tercengang. Bukan cuma karena melihat lampu merah (yang di pulau hanya jadi cerita rakyat), tapi juga karena jalanan yang ramai, banyaknya orang, dan... ada mall! Udin hampir masuk ke eskalator tapi berhenti karena mikir itu tangga rusak yang jalan sendiri.
Ia kuliah di salah satu kampus swasta yang terkenal di kalangan anak kos karena dekat dengan warung padang murah dan sinyal Wi-Fi lancar. Jurusan yang diambilnya? Ilmu pemerintahan. Katanya sih biar nanti bisa bantu pulau biar nggak cuma terkenal karena banyak nyamuk.
Masa-masa kuliah Udin penuh warna. Ia sempat jadi ketua himpunan, padahal awalnya cuma iseng bantu angkat galon pas rapat. Ia juga sempat jatuh cinta dengan mahasiswi asal Barabai, tapi kandas karena Udin lupa ulang tahun ceweknya dan malah ngasih ikan asin kiriman dari kampung.
Dari kampus, Udin belajar banyak hal. Ia tahu cara bikin proposal, cara sidang skripsi, dan yang paling penting: cara bertahan hidup dengan uang 5000 sehari (satu bungkus mi, setengah nasi, dan air putih gratis dari masjid kampus). Tapi ia tetap tegar, karena katanya, hidup itu bukan soal seberapa keren kamu pakai outfit kampus, tapi seberapa kuat kamu menahan lapar sampai jam 12 siang.
Akhirnya, setelah empat tahun—plus satu semester tambahan gara-gara lupa absen di satu mata kuliah—Udin lulus. Ia pulang ke Pulau Sembilan disambut keluarga dan tetangga se-RT, kayak pahlawan yang baru pulang dari medan perang... perang dengan dosen pembimbing maksudnya.
Kini Udin dikenal di kampung sebagai Sarjana Pulau. Ia mengajar anak-anak, bantu bikin proposal pembangunan jalan, bahkan merancang program "internet masuk pulau" (walau modemnya harus digantung di pohon kelapa biar dapat sinyal).
Kata Udin, "Kita boleh lahir di tempat terpencil, tapi mimpi itu bisa dibawa sampai ke kota. Asal jangan lupa pulang."
Dan tiap sore, setelah semua aktivitas selesai, Udin akan duduk di pantai, memandang laut sambil ngunyah kacang rebus, lalu berkata dalam hati:
“Dari pulau, untuk dunia… tapi jangan lupa, cucian numpuk di rumah.”
Posting Komentar