Fitri, Gadis Barabai yang Lembut Tapi Tegas : Petualangan Anak Laut
Sebelum Fitri duduk di bangku kuliah bareng Udin, sebelum dia jadi penyebab jantung Udin berdebar nggak karuan, dan jauh sebelum dia bilang, “Aku suka kamu, Din, tapi stop kirim ikan asin,” — ada kisah panjang yang membentuk siapa dia sekarang.
Fitri lahir di sebuah kota kecil nan sejuk di Kalimantan Selatan: Barabai. Sebuah kota yang terkenal dengan keindahan alamnya, keramahan penduduknya, dan bakso kuah pedas yang bisa bikin kepala keringetan lebih dari ujian skripsi. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Rumah keluarganya berdiri tak jauh dari sawah dan pegunungan Meratus yang megah. Setiap pagi, suara ayam, azan subuh, dan ibu yang teriak, “Fitrii! Bangun, sekolah!” adalah alarm alami dalam hidupnya.
Masa kecil Fitri sederhana, tapi penuh warna. Ia sering main enggrang dari bambu, main karet gelang bareng anak tetangga, dan ikut lomba baca puisi tiap 17 Agustus walau suaranya kadang lebih kecil dari mic masjid yang feedback.
Sejak kecil, Fitri sudah dikenal rajin dan pintar. Dia langganan juara kelas, tapi nggak sombong. Kalau ada temannya kesusahan, dia bantu. Bahkan waktu kelas 6 SD, ia rela bagi jatah bekalnya buat teman yang nggak bawa nasi. Katanya, “Makan separo aja, asal kita kenyang bareng.” (Ujian pertama sebagai calon istri idaman? Lulus.)
Ayah Fitri adalah seorang guru madrasah, sedangkan ibunya jualan kue basah di pasar. Didikan orang tua yang keras tapi penuh kasih membuat Fitri tumbuh jadi pribadi yang mandiri dan nggak manja. Sejak SMP, Fitri sudah bantu jualan kue sebelum sekolah—bangun jam 4 pagi, bantu ibu membungkus klepon dan nagasari, lalu berangkat sekolah sambil bawa plastik berisi jajanan titipan.
Ia lulus SMA di Barabai dengan nilai membanggakan. Banyak yang menyarankan dia ambil kuliah di luar kota, agar bisa dapat pengalaman baru dan memperluas wawasan. Meski awalnya ibunya berat melepas, Fitri sendiri punya mimpi: ia ingin jadi pegawai pemerintahan, agar bisa membantu orang-orang kecil seperti keluarganya. Jadi, berangkatlah dia ke Banjarmasin, diterima di kampus swasta, jurusan Administrasi Publik.
Tantangan pertama: hidup jauh dari rumah.
Awal masuk kos, Fitri sempat nangis gara-gara air di kamar mandi kecil, dan suara motor malam-malam yang bikin kaget kayak bom bunyi. Tapi dengan tekad baja dan stok kerupuk udang dari rumah, ia bertahan.
Fitri dikenal di kampus sebagai cewek kalem, rapi, tapi tegas. Kalau diskusi kelompok, dia yang pertama bikin daftar tugas. Kalau ada yang nyontek pas ujian? Dia ngasih kode lewat lirikan mata yang bisa bikin pelaku merasa berdosa tiga hari tiga malam.
Dia punya hobi baca buku, terutama novel dan biografi tokoh perempuan hebat. Cita-citanya? Jadi orang yang berguna, bukan cuma di kota, tapi juga di kampung halaman. Bukan untuk jadi viral, tapi untuk memberi perubahan nyata.
Teman-teman bilang, “Fitri itu cewek yang kalau dilihat mungkin diam, tapi otaknya jalan terus.” Bahkan dosen pun kagum sama caranya menyampaikan argumen—halus, tapi nusuk.
Sampai akhirnya... datanglah si Udin.
Awalnya Fitri heran, kenapa ada anak baru yang suka ngelawak sendiri di kelas, suka pakai sandal jepit kemana-mana, dan kadang pakai baju yang tulisannya “Ikan Lele adalah Kawan.” Tapi lambat laun, Fitri menyadari, ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu: tulus, apa adanya, dan selalu menghargai proses.
Dan itulah awal kisah cinta yang kita tahu bersama.
Posting Komentar