Gara-Gara Pinjam Pulpen, Jadi Pinjam Hati : Petualangan Anak Laut

Daftar Isi

Semester dua, minggu pertama.
Suasana kelas padat, penuh mahasiswa baru yang masih semangat bawa map warna-warni, pakai parfum seember, dan mencatat jadwal kuliah pakai spidol stabilo kaya mau Ujian Nasional.

Udin…?
Datang telat.

Jalan ke kelas dengan langkah pelan, kemeja setengah masuk celana, rambut belum sisir, dan wajah yang jelas-jelas baru bangun 12 menit lalu. Satu tangannya megang buku kosong, tangan satunya bawa gorengan yang dia makan sambil ngunyah pelan supaya nggak dicurigai dosen.

Dosen di depan baru mulai ngomong, “Baik mahasiswa, hari ini kita akan membahas…”
Udin membuka pintu. Satu kelas nengok.
Termasuk dia.
Fitri.


👀 Sekilas Tentang Fitri di Mata Udin

Fitri duduk rapi di bangku baris ketiga dari depan. Kerudungnya rapi, catatannya warna-warni, dan punya ekspresi wajah yang bikin Udin otomatis lupa kenapa dia ambil jurusan ini.

“Wah, cantik… rapi… wangi lagi,” batin Udin.
“Pasti bukan jodohku.”
(Anak kos realistis.)

Udin melirik bangku kosong…
dan takdir berkata: “Hanya ada satu.”
Tepat di samping Fitri.

Dengan gaya sok tenang tapi deg-degan kayak UTS tanpa belajar, Udin duduk. Badannya sedikit minggir, karena takut mengganggu aura ketenangan perempuan cantik. Tapi tetap saja… jantungnya berdetak kayak genderang marching band.


✍️ Momen Pemicu: Pulpen, Penyambung Cinta

Dosen mulai ngasih materi.
Udin baru sadar: nggak bawa pulpen.
Mau nulis? Nggak bisa.
Mau pura-pura nulis? Ya ketahuan.
Mau keluar beli? Telat udah cukup, jangan ditambah drama.

Akhirnya… dengan keberanian setipis kerupuk udang, Udin menoleh ke Fitri dan berbisik:

“Maaf… boleh pinjam pulpennya, nggak?”
(Dengan suara kecil, takut Fitri berpikir ini modus.)

Fitri menoleh pelan. Tatapan matanya dingin... tapi tangannya langsung ngeluarin satu pulpen cadangan dari tasnya dan ngasih ke Udin tanpa berkata-kata.
Pulpen warna biru, merk lokal, ujungnya digigit—entah dia sadar atau nggak.

“Terima kasih,” kata Udin lirih.

Dan sejak itu…
Udin nulis sambil senyum-senyum.
Bukan karena dosennya lucu.
Tapi karena tinta dari pulpen itu seakan mengalirkan rasa yang belum ia mengerti sepenuhnya.


📓 Isi Catatan Udin?

Satu halaman penuh catatan. Tapi bukan isi kuliah.
Udin malah nulis begini:

Hari ini duduk sebelah cewek rapi.  
Pinjem pulpen dia.  
Wanginya kayak tisu basah yang mahal.  
Kalau dia tahu aku deg-degan, tolong jangan kasih tahu siapapun.

😅 Percakapan Pertama yang Canggung Tapi Manis

Selesai kelas, Udin balikin pulpen.

“Ini… makasih ya. Aku suka banget pulpennya. Eh maksudnya… nulisnya enak.”

Fitri menatap, lalu tersenyum tipis.

“Iya… itu pulpen biasa kok.”

Dan Udin, dengan gaya awkward level dewa, malah ngomong:

“Kalau kamu punya pulpen dua lagi, aku boleh pinjem terus nggak?”

Fitri ketawa pelan.

“Lho, itu pinjam atau mau jadi pelanggan tetap?”

Dan BOOM.
Udin langsung jatuh cinta.
Karena dari situ dia tahu, Fitri bukan cuma cantik. Dia juga bisa balas lelucon receh Udin.
Sesuatu yang langka… seperti saldo dompet Udin yang pas ada isinya.


🎞️ Momen Pulpen Tak Terlupakan

Sejak kejadian itu, Udin selalu siapin pulpen lebih. Tapi bukan buat dia.
Buat jaga-jaga kalau suatu saat… Fitri lupa bawa.
Karena katanya:

“Pinjam pulpen itu alasan pertama gue bisa ngobrol sama dia. Jadi kalau nanti dia butuh, gue siap. Sekarang giliran gue yang minjemin hati.”


Akhir Bab:
Satu batang pulpen.
Satu momen pinjam.
Satu kursi kosong di samping perempuan paling rapi di kelas.
Dan tanpa sadar, itulah awal dari kisah cinta yang bahkan tidak direncanakan oleh skrip kehidupan... tapi terasa sangat pas.

Posting Komentar