Yang Pernah Hadir Dalam Diam

Table of Contents

Cerita tentang kekaguman yang tak pernah bersuara.

Di antara hari-hari biasa yang terus berjalan, pernah ada satu wajah yang berbeda dari yang lain. Bukan karena parasnya yang sempurna, bukan pula karena sikapnya yang terlalu menonjol. Justru karena kesederhanaannya—ia seperti tenang yang tidak mencoba mencuri perhatian, tapi justru menjadi pusat perhatian dalam diam.

Saat itu, aku tidak sedang mencari siapa pun. Hidupku baik-baik saja, berjalan dengan ritme yang stabil. Tapi entah bagaimana, kehadirannya seperti membuka jendela kecil dalam dunia yang tadinya kukira lengkap. Ia tidak datang membawa keramaian, tidak juga menyapa terlalu sering. Tapi setiap kata yang ia ucapkan, setiap kalimat yang ia tulis… meninggalkan jejak.

Aku ingat betul salah satu kalimatnya:
"Di dunia ini kamu bisa mencari segalanya, kecuali cinta dan kematian. Mereka akan mendatangimu sendiri ketika waktunya datang."

Waktu itu aku hanya membacanya sambil lalu, tapi kalimat itu tinggal lebih lama daripada yang kukira. Mungkin karena aku tahu, cinta itu sedang datang. Bukan untukku sepenuhnya, bukan pula untuk kusambut dengan tangan terbuka. Tapi cukup untuk kusadari: aku sedang mengaguminya… diam-diam.

Setiap pertemuan biasa—entah saat duduk di ruang yang sama, berjalan melintasi lorong yang sama, atau bahkan saat melihat namanya muncul di layar ponsel—membuat jantungku seolah tahu, bahwa ada sesuatu yang sedang tumbuh. Tapi aku tak pernah mengizinkan rasa itu keluar dari tempatnya. Bukan karena takut ditolak, tapi karena aku tahu: ini bukan tentang memilikinya, ini tentang merasakannya... dalam diam.

Ada malam-malam yang kulewati hanya dengan mengingat senyumnya. Ada pagi-pagi yang terasa lebih ringan karena tanpa sengaja mendengar suaranya. Tapi tidak satu pun dari semua itu pernah menjadi alasan bagiku untuk mengaku. Karena aku bukan ingin mengejar, aku hanya ingin menghargai.

Lalu waktu pun terus bergulir.

Ia semakin jarang kutemui. Hidup mulai membawa kami ke arah yang berbeda. Ia mungkin tak pernah tahu. Atau mungkin tahu, tapi memilih tidak mengusik. Dan aku? Aku tetap diam, seperti caraku sejak awal.

Tahun berganti. Aku tumbuh, ia pun begitu. Namanya tak lagi sering terdengar, tapi kalimat-kalimatnya kadang muncul kembali di ingatan, seperti angin sore yang tiba-tiba menyapa.

Kini aku sadar: kekaguman itu telah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar rasa. Ia menjadi bagian dari siapa diriku. Ia mengajarkanku bahwa mencintai tidak selalu harus memiliki, bahwa rasa bisa tetap bermakna meski tak pernah diucapkan.

Dan kalau suatu saat takdir mempertemukan kami kembali—entah sebagai dua orang asing, atau dua orang yang hanya saling tersenyum tanpa kata—aku akan tetap berterima kasih. Karena pernah, di antara segala keramaian dunia, ada seseorang yang mengajarkanku arti keindahan diam-diam.

Kini, ia adalah bagian dari masa lalu.
Masa lalu yang indah, yang diam-diam, dan yang akan selalu hidup di antara jeda dan kenangan.

Posting Komentar