Hari-Hari Dari Jam 8 Ke Jam 4 : Kehidupan Nyata
Namanya Fikri. 23 tahun. Baru dua bulan lalu wisuda. Gelar sarjana sudah di tangan, dan sekarang ia duduk di kursi kantor yang tidak ia pilih sendiri.
Bukan karena dia tidak punya impian. Dulu ia punya. Tapi entah sejak kapan, impian-impian itu mengecil, menyusut oleh suara orang tua yang berkata, "Yang penting kerja tetap." Dan kini, Fikri duduk di meja bernomor 14, lantai dua, ruangan paling ujung dari sebuah kantor milik distributor barang elektronik.
Jam 7:45 pagi. Fikri sudah duduk di sana, mengenakan kemeja biru muda yang ia setrika sendiri semalam. Celana bahan hitam, sepatu pantofel pinjaman kakaknya. Wajahnya masih segar, tapi matanya sudah mulai menyimpan kantung-kantung tanya: “Apa benar ini hidup yang aku tuju?”
Tugasnya sederhana. Mengecek data penjualan dari cabang. Mengisi spreadsheet. Bikin laporan harian. Kadang membantu fotokopi. Kadang juga disuruh beli gorengan sama senior. Biasa. Dunia kerja katanya.
Tapi ada yang lebih sepi dari pekerjaannya: hatinya sendiri.
Bukan karena Fikri orang yang murung. Tapi sejak hari pertama masuk, ia merasa seperti masuk ke dunia di mana suara-suara tidak terlalu penting, hanya angka yang dihitung. Dan ia bukan angka yang besar.
“Mas Fikri,” panggil Bu Lilis, atasan langsungnya, seorang perempuan berumur 40-an yang hidupnya lurus-lurus saja. “Tolong cek data dari cabang Pekanbaru ya, kayaknya ada dobel input.”
Fikri mengangguk. “Baik, Bu.”
Tiap pagi dia bilang "baik, Bu." Siang "sudah, Bu." Sore "izin pulang, Bu." Dan semua itu ia ucapkan dengan senyum tipis yang makin hari makin otomatis.
Tapi di malam hari, sesampainya di kamar kontrakan kecilnya, barulah Fikri benar-benar berbicara—dalam hati, pada dirinya sendiri.
“Kenapa rasanya kosong ya?”
Kontrakan Fikri cuma berisi kasur, meja lipat, dan kipas angin. Tapi justru di ruang sesempit itu, pikirannya jadi luas—melayang ke mana-mana. Kadang ke masa SMA, saat ia ingin jadi musisi. Kadang ke masa kuliah, saat ia merasa masih punya waktu untuk bermimpi. Dan kini...?
Kini, Fikri merasa seperti orang yang sudah terlalu cepat tua. Padahal baru juga mulai.
Malam itu, sambil rebahan, ia membuka buku catatannya. Dulu, ia suka menulis puisi, cerita pendek, dan cita-cita. Sekarang, ia membuka halaman kosong, lalu menulis:
"Hari ini berlalu seperti kemarin.
Tapi aku masih di sini.
Bukan karena aku suka,
Tapi karena aku belum tahu mau ke mana."
Ia menutup bukunya, menatap langit-langit kamar. Lalu perlahan, tertidur dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri.
Besok pagi, jam 8, ia akan duduk lagi di meja 14. Tapi sesuatu akan berbeda.
Karena diam-diam... seorang rekan kerja baru akan datang. Dan tidak seperti Fikri, rekan barunya itu—senang berbicara.
Posting Komentar