Hari yang Penuh Kejutan
Pagi itu, langit di Pulau terlihat berbeda. Birunya lebih pekat dari biasanya, awannya putih bersih seolah digulung lembut oleh angin laut. Fikri membuka jendela rumahnya dan menghirup dalam-dalam udara asin yang menyegarkan. Hatinya terasa ringan, seperti tidak ada beban sama sekali.
"Entah kenapa, aku yakin hari ini bakal istimewa," gumamnya sambil tersenyum.
Fikri mendapat libur mendadak dari tempat kerjanya di kantor. Tidak ada rapat, tidak ada laporan yang harus diselesaikan. Ia memutuskan untuk menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Tanpa banyak rencana, ia mengambil sepeda tuanya dan mengayuh ke arah dermaga kecil di ujung pulau, tempat yang selalu membuat pikirannya tenang.
Sesampainya di sana, ia melihat beberapa teman lama yang sedang bersiap memancing. “Fik! Lama tak kelihatan! Ayo ikut!” teriak Joni, sahabat masa kecilnya. Awalnya Fikri ragu karena tidak membawa perlengkapan, tapi akhirnya ia ikut naik ke perahu. Mereka melaut sambil bercanda, mengenang kenangan masa kecil, hingga tertawa terbahak-bahak sampai air mata keluar.
Di tengah laut, matahari memantul di permukaan air seperti serpihan emas. Fikri menutup mata sejenak, menikmati hembusan angin. “Inilah bahagia yang selama ini aku cari,” katanya dalam hati.
Siang hari, mereka pulang dengan membawa banyak ikan. Hasil tangkapan itu langsung dibakar di tepi pantai. Aroma ikan bakar bercampur dengan suara debur ombak menciptakan suasana yang sulit digambarkan. Beberapa anak kecil ikut bermain bola di pasir, tertawa setiap kali terjatuh. Fikri yang biasanya serius ikut bermain bersama mereka, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar bebas.
Ketika senja mulai turun, Fikri berjalan sendirian di tepi pantai. Langit berubah jingga, seperti lukisan yang terlalu indah untuk dilupakan. Ia duduk di atas pasir yang hangat, membiarkan pikirannya kosong.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ada suara lembut yang memanggilnya.
“Eh… Fikri? Kamu di sini juga?”
Fikri menoleh. Itu Nadira. Ia baru kembali dari kampung halamannya dan sore itu memutuskan untuk berjalan-jalan di pantai. Nadira tersenyum, dan senyum itu seolah langsung menghapus semua lelah dunia.
Mereka pun berjalan berdampingan, bercerita ringan tentang keluarga, pekerjaan, dan hal-hal kecil yang mereka sukai. Fikri yang biasanya sulit membuka percakapan kali ini bisa bicara dengan lancar. Nadira sesekali tertawa kecil, dan suara itu membuat dada Fikri terasa hangat.
Saat matahari tenggelam dan langit mulai dipenuhi bintang, Nadira berkata pelan, “Aku senang bisa ketemu kamu hari ini, Fik.”
Fikri terdiam sejenak, lalu tersenyum. Malam itu, di bawah sinar bulan yang memantul di permukaan laut, ia sadar bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari jauh-jauh. Ia ada di hal-hal sederhana: bercanda dengan teman lama, makan ikan bakar di pantai, dan berjalan berdua dengan seseorang yang diam-diam ia kagumi.
Hari itu mungkin terlihat biasa bagi orang lain. Tapi bagi Fikri, itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya.
Posting Komentar