Meja Sebelah dan Seorang Bernama Sinta : Kehidupan Nyata

Table of Contents

Fikri datang pagi-pagi, seperti biasa. Tapi ada yang berbeda hari itu. Meja nomor 15 yang selama ini kosong, kini sudah terisi. Seorang perempuan muda duduk di sana, mengenakan blazer abu-abu dan jilbab krem yang rapi. Ia sedang memandangi layar komputer sambil mengerutkan alis. Sepertinya tidak tahu harus memulai dari mana.

Fikri sempat ingin pura-pura sibuk. Tapi entah kenapa, tangannya mengetuk meja ringan dan ia berkata, “Permisi. Butuh bantuan?”

Perempuan itu menoleh dan tersenyum. “Iya... ini Excel-nya kenapa malah ngebuka kayak gini ya? Padahal tadi aku cuma klik sekali.”

Fikri mendekat dan dengan satu dua klik, Excel-nya kembali normal. Biasa, hanya masalah jendela tersembunyi. Ia menjelaskan dengan pelan. Dan perempuan itu mengangguk-angguk cepat, seperti anak kuliah semester satu yang baru masuk praktikum.

“Namaku Sinta,” katanya. “Hari pertama.”

“Fikri,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Hari ke... tiga puluh sekian. Belum dihitung.”

Sinta tertawa. Bukan tawa lepas. Tapi cukup untuk membuat ruang itu lebih hidup. Fikri belum pernah dengar tawa di ruangan itu sejak pertama masuk.

Sejak hari itu, meja 14 dan meja 15 seperti punya napas baru. Mereka bukan teman dekat, tapi juga bukan dua orang asing. Kadang ngobrol ringan saat istirahat. Kadang diam lama tapi tidak kikuk. Sinta punya cara bicara yang sederhana, tapi penuh warna. Ia bercerita tentang kos barunya, tentang angkot yang hampir bikin dia telat, tentang makanan kantin yang menurutnya “terlalu serius.”

Fikri mendengarkan. Dan kadang, ia menjawab lebih dari satu kalimat. Itu kemajuan besar.

Sore itu, saat semua sudah mulai sepi, Sinta sempat menoleh dan bertanya, “Kamu betah di sini, Fik?”

Pertanyaan itu seperti peluru karet. Tidak melukai, tapi membekas.

Fikri diam sebentar. “Entah ya. Aku masih belajar betah.”

Sinta tersenyum. “Aku juga. Tapi katanya, kalo kita nggak bisa suka sama tempatnya, ya coba suka sama prosesnya dulu.”

Kata-kata itu membekas di kepala Fikri sepanjang malam.


Di kamar kontrakannya, Fikri membuka buku catatannya lagi. Ia menulis:

Hari ini, meja sebelah berbicara.
Dan ternyata, dunia kerja ini tidak seratus persen membosankan.
Kadang, suara kecil bisa jadi musik di ruangan paling sunyi.


Besok, ia akan kembali duduk di meja 14. Tapi hari itu, ia tidak merasa sendirian lagi.

Dan ia mulai bertanya dalam hati... apakah mungkin dari meja sebelah, hidup ini bisa punya arah? 


Posting Komentar