Pulang dengan Luka Negeri

Table of Contents

Agustus kali ini berbeda.

Seorang anak muda dari Pulau Sembilan harus meninggalkan rumahnya, jauh dari laut yang biasanya menenangkan, jauh dari suara mesin diesel yang hanya hidup enam jam di malam hari. Sebulan penuh ia berada di luar pulau, menjalani hari-hari dengan beban belajar, tugas, dan tanggung jawab yang tak bisa ditinggalkan. Rindu rumah dipendam, sebab perjuangan menuntut pengorbanan.

Namun negeri yang ia tinggalkan tidak sedang baik-baik saja. Dari layar ponsel di perantauan, berita-berita datang silih berganti. Harga yang terus naik, rakyat kecil yang berjuang sendirian, dan upacara kemerdekaan yang terasa seperti seremonial tanpa ruh. Di balik merah putih yang berkibar gagah, ada banyak hati yang masih dirundung cemas.

28 Agustus: Tragedi di Tengah Demo

Menjelang akhir bulan, sebuah kabar mengguncang.
Tanggal 28 Agustus 2025, seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan kehilangan nyawanya. Di tengah hiruk pikuk demonstrasi di sekitar gedung DPR/MPR Jakarta, mobil taktis Brimob melindas tubuhnya. Affan tewas seketika.

Ia bukan pejabat, bukan tokoh terkenal. Ia hanyalah rakyat kecil, tulang punggung keluarga yang setiap hari menjemput rezeki di jalanan ibu kota. Namun kepergiannya membuat negeri ini terhenyak. Media sosial dipenuhi suara duka dan amarah. Tagar menuntut keadilan menggema, mengingatkan semua bahwa di balik kemerdekaan yang kita rayakan, masih ada nyawa rakyat yang mudah terabaikan.

Polri memang bertindak cepat: tujuh anggota Brimob diamankan, Kapolri meminta maaf. Tapi bagi banyak orang, itu tak cukup menghapus luka. Para pakar menyebut insiden ini tindakan brutal, bahkan digolongkan sebagai extrajudicial killing. Nama Affan kini melekat sebagai simbol: simbol betapa kemerdekaan sejati masih jauh dari genggaman rakyat kecil.

31 Agustus: Pulang ke Pulau

Dan kini, di tanggal 31 Agustus, anak muda itu akhirnya pulang.
Ia kembali ke pulau yang selalu dirindukannya. Angin asin laut menyambutnya, pasir putih menunggu jejak kakinya. Namun kali ini ia tidak pulang dengan tangan kosong. Di dalam dirinya, ia membawa cerita—cerita perjuangan sebulan di rantau, dan cerita luka sebuah bangsa yang kehilangan salah satu anaknya dengan tragis.

Ia pulang dengan wajah letih, tetapi matanya menyimpan api. Api untuk tetap berharap, api untuk tetap percaya, api yang ingin menjaga agar perjuangan tidak berhenti hanya di pelatihan, kelas, atau kantor. Karena perjuangan sejati ada di hati: menjaga keadilan, sekecil apa pun peran yang bisa dilakukan.

Harapan di Ujung Agustus

Agustus ditutup bukan dengan pesta, melainkan dengan duka. Tetapi justru dari duka itulah harapan tumbuh. Bahwa kemerdekaan bukan sekadar tanggal 17 di kalender, bukan hanya barisan upacara. Kemerdekaan adalah hak untuk hidup aman, hak untuk mencari nafkah tanpa takut mati, hak untuk dihargai sebagai manusia.

Di Pulau Sembilan, malam terakhir Agustus menjadi saksi. Saksi seorang anak muda yang baru pulang dari rantau, membawa doa, luka, dan tekad. Ia berjanji dalam diam: bahwa meski kecil, ia ingin tetap berdiri di barisan orang-orang yang menjaga kemanusiaan.

Karena kemerdekaan sejati hanya bisa hidup, jika kita berani menjaganya—untuk setiap Affan yang pernah ada, dan untuk setiap rakyat kecil yang masih berjuang di jalanan negeri. 

Posting Komentar