Hujan, Jendela, dan Secangkir Keheningan
Pagi ini, saya duduk di dekat jendela rumah. Kaca jendela dipenuhi titik-titik air, bergulir perlahan seperti mutiara yang tidak sabar jatuh ke tanah. Dari balik jendela, pandangan saya tertuju pada sebuah parabola tua yang tergeletak di halaman. Warnanya sudah pudar, lumut mulai menempel di pinggirannya, namun entah kenapa keberadaannya memberi kesan hangat. Mungkin karena parabola itu pernah menjadi saksi malam-malam penuh tawa saat menonton televisi bersama keluarga.
Di kejauhan, dedaunan kelapa bergoyang pelan. Angin membawa aroma tanah basah—aroma yang sering kali membuat kita rindu pada kampung halaman, meski sebenarnya kita sedang berada di kampung itu sendiri. Ada romantika tersendiri dalam bau hujan. Seakan-akan ia mengajak kita kembali pada kenangan: bermain di genangan air ketika kecil, menunggu ibu membuatkan teh panas, atau sekadar rebahan mendengarkan radio tua.
Hujan juga selalu punya cara menyembuhkan. Kadang kala hati sedang penuh sesak—oleh pekerjaan, oleh beban hidup, atau bahkan oleh rasa rindu pada seseorang yang jauh. Tapi saat hujan turun, semua itu perlahan luluh. Seolah-olah setiap tetes membawa pesan: bahwa kita tidak sendiri, bahwa semesta sedang bekerja, bahwa ada waktu untuk berhenti sejenak dan hanya menikmati.
Saya memandangi air yang menetes dari atap, jatuh menimpa parabola, lalu memercik kecil sebelum menghilang. Rasanya seperti mendengar musik alami. Tidak ada gitar, tidak ada piano, hanya bunyi sederhana tapi penuh harmoni. Barangkali inilah mengapa banyak orang menyukai hujan—karena ia menciptakan konser sunyi, konser yang tidak bisa dibeli tiketnya.
Di balik jendela, saya tersenyum sendiri. Betapa sering kita terlalu sibuk mengejar hal-hal besar, padahal kebahagiaan sederhana bisa lahir dari duduk diam, menatap hujan, dan membiarkan waktu berjalan tanpa rencana. Hujan tidak pernah meminta izin untuk datang, sama seperti hidup yang tidak selalu sesuai dengan keinginan. Tapi bukankah itu yang membuat segalanya lebih indah?
Saya pun menutup mata sebentar, mendengarkan hujan yang semakin deras. Ada doa yang ikut hanyut bersama rintiknya, ada harapan yang dibisikkan di sela-sela angin. Semoga setelah hujan reda, dunia akan terasa lebih segar. Semoga hati pun demikian—lebih ringan, lebih siap melangkah.
Posting Komentar